Rabu, 10 Februari 2016

Neraka Jahanam Ala Sukarno Untuk Rakyat Indonesia.


Romusha, Neraka Jahanam Ala Soekarno! |

Diposkan oleh Teguh | di 02.34 |


Pada 1942, Jepang menguasai Indonesia. Mereka berhasil mengambil alih kendali dari tangan Belanda. Begitu pula di beberapa negara asia tenggara lainnya, Jepang juga berhasil menguasai dan mengendalikannya. Dalam mengendalikan dan menguasai daerah jajahannya Jepang selalu merekrut kaum pribumi untuk menjadi kaki tangan mereka untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada demi kebutuhan perang mereka atau biasa disebut sebagai Kolaborator. Di Indonesia, Sukarno berhasil mendekati pemerintahan kolonial Jepang dan menjadikannya sebagai Kolaborator di Indonesia

Demi mempertahankan daerah-daerah kekuasaannya tersebut, Jepang merencanakan pembangunan rel kereta api guna mempercepat pengangkutan logistik dan tentara. Jepang juga merencanakan untuk menambang sumber daya alam Indonesia (emas, batu bara dan lainnya). Untuk mengerjakan semuanya, Jepang membutuhkan banyak pekerja paksa atau dalam bahasa Jepang disebut romusha: pahlawan kerja. Jepang juga membutuhkan perempuan-perempuan sebagai pelampiasan nafsu birahi para tentaranya yang dikirim ke medan perang. Para Romusha dan Jugun Ianfu ini dihimpun dari setiap negara yang mereka kuasai tak terkecuali Indonesia.

Di Indonesia, romusha dan jugun ianfu dihimpun langsung oleh Presiden Soekarno sebagai Kolaboratornya. Konsekuensi langsung dari kebijakan politik terkait kesepakatan dengan Kaisar Jepang, Tenno Heika, untuk mempercepat dan mendukung proses kemerdekaan Indonesia.


Para pemuda dan orang dewasa -Belanda dan pribumi- dibujuk, ditangkap paksa dan diangkut dengan truk. Mereka kemudian dikirim ke pelbagai lokasi kerja, di Indonesia maupun di negara lain. Jumlah yang terhimpun sekira 4-10 juta orang. Banyak dari mereka yang mati mengenaskan: kelaparan, kedinginan, sakit, disiksa, dibunuh dan sebagian menjadi santapan binatang buas.


Terkait romusha, presiden Soekarno melontarkan beberapa pernyataan:


“Sesungguhnya akulah yang mengirim mereka untuk kerja paksa. Ya, akulah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya, ya, ya, akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha. Aku bergambar dekat Bogor dengan topi di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi seorang romusha…”


“…Aku melakukan perjalanan ke Banten untuk menyaksikan tulang-tulang kerangka hidup yang menimbulkan belas kasihan, membudak di garis belakang, jauh di dalam tambang batu bara dan emas. Mengerikan. Ini membuat hati di dalam seperti diremuk-remuk.” 


Dalam buku Harry A Poeze, penulis paling otoritatif tentang Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, terbitan Grafiti Pers. Bung Karno, dalam kampanye untuk menarik rakyat menjadi romusha yang sering diartikan sebagai kerja paksa khas Jepang, sempat mengunjungi Bayah, Banten Selatan, tempat romusha dipekerjakan untuk membangun jaringan rel kereta api Saketi-Bayah, sepanjang 150-an km. Bung Karno datang bersama Bung Hatta dan para anggota Jawa Hokokai. Kedatangan itu bagian dari kampanye Bung Karno untuk bekerja sama dengan Pemerintah Pendudukan Jepang, yang ia yakini akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sebelumnya, pada 3 September 1944, Bung Karno telah memberangkatkan 500-an romusha ke Burma.

Para romusha itu berangkat dengan bangga, diiringi pidato Soekarno," Tujuan usaha ini adalah untuk menunjukkan kepada Jepang bahwa penduduk Jawa telah siap sehidup semati dengan Dai Nippon. Kita berjanji tidak akan bercukur selama pengabdian sebagai romusha, sebagai tanda bukti kepada negara," kata Bung Karno, seperti tertuang dalam buku yang ditulis Aiko Kurasawa.

Bung Karno sendiri datang ke Bayah sebagai romusha. Pada lengannya tertulis pita besar bernomor 970. Romusha bernama Soekarno itu ditulis koran-koran zaman itu tinggal di pondokan sederhana romusha, makan makanan mereka. Koran juga memuat foto saat Bung Karno mengangkat karung pasir dalam pekerjaan sehari-hari romusha.

Bedanya, Bung Karno dan rombongan beberapa hari kemudian pulang ke Jakarta, dan para romusha asli tingal disana tanpa pernah tahu kalau mereka ditumbalkan demi sebuah ambisi dan fasilitas bagi orang yang mengirim mereka.






Pada saat acara penyambutan kedatangan Bung Karno dkk itulah, terjadi perdebatan antara Bung Karno dengan IlyasTan Malaka. Pidato Soekarno bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu dan setelah itu Jepang memberikan kemerdekaan buat Indonesia, dibantah Tan Malaka. Itulah perbedaan sikap kedua pemimpin, pejuang yang sama-sama mencita-citakan kemerdekaan Indonesia itu



“Ada dua jalan untuk bekerja. Pertama dengan tindakan revolusioner, kita belum siap. Kedua adalah bekerja sama dengan Jepang sambil mengonsolidasikan kekuatan dan menantikan sampai tiba saatnya ia jatuh. Saya mengikuti jalan kedua.”


“Dalam setiap perang ada korban. Tugas dari seorang panglima adalah memenangkan perang, sekalipun akan mengalami beberapa kekalahan dalam pertempuran di jalan. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demimenyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan. Kita berada dalam suatu perjuangan untuk hidup…”


Logas adalah kawasan di tengah hutan belantara antara Sumatera Barat dan Riau. Pada 1943-1945, Jepang membangun rel kereta api di sini, menghubungkan Sumatera Barat dan Riau. Puluhan romusha dikerahkan untuk mengerjakannya. Logas menjadi kawasan pekuburan dan saksi bisu tragedi yang mengerikan.

 Romusha terdiri dari pemuda-pemuda pribumi yang ditangkapi secara paksa sepulang sekolah; bahkan yang sedang nongkrong atau jalan-jalan. Mereka diangkut dengan truk dan dibawa ke Logas. Beberapa tawanan Belanda juga dijadikan romusha.
 

Para romusha hidup di tengah hutan belantara. Dikomandoi Letnan Doi Isamu yang kejam, mereka bekerja keras siang-malam, makan seadanya dan tidur berselimutkan dingin dan sengatan nyamuk malaria. Kalau mereka lari, harimau sumatera dan binatang buas lainnya siap menerkam di hutan.


Tak ada catatan pasti tentang jumlah kematian, tapi yang jelas: belasanromusha mati tiap harinya selama dua tahun.


Bagaimana dengan romusha Indonesia yang dikirim ke negara lain? Di negara Burma, sebagaimana diakui dan digambarkan presiden Soekarno: hampir 99% mati.[]



Sumber: “Bung Karno dan Lembar Hitam Romusha” oleh Roso Daras.

                 

                 “Neraka Rimba Logas” oleh Marthias Dusky Pandoe.